ANGKOLA KONSELING MINISTRY

Minggu, 20 Februari 2011

Emphaty

Judul Buku:    The Power of Empathy: A Practical Guide to Creating Intimacy,
Self Understanding, and Lasting Love
Penulis            :           Arthur P. Ciaramicoli, Ed.D., Ph.D and Katherine Ketcham
Penerbit:        A Plume Book, New York
Tebal:              275 halaman

THE POWER OF EMPATHY

I.      LAPORAN ISI BUKU

Pendahuluan
I will not exchange the sorrows of my heart for the joys of the multitude. And I would not have the tears that sadness make to flow from my every part turn into laughter. I would that my life remain a tear and a smile…. A tear to unite me with those of broken heart: smile to be a sign of my joy in existence.
n  Kahlil Gibran, Tear and Smile

Dalam pendahuluan bukunya ini Arthur menyampaiakn pergumulannya apakah ia akan mengespressikan pengalaman hidupnya yang sangat menyakitkan. Ia menuliskan:
This is a personal book. In these pages I tell many stories about my own life, the people I have loved, and those I have lost. I also relate the details of my relationships with patients, professors, students and colleagues. In these stories I reveal my joys and my sorrows, my fears, hopes, dreams, and moment of despair. I decided to disclose these personal details only after many, many weeks of agonized reflection. Even after making the decision, I woke up countless times in the middle of the night, tortured by questions.

BAGIAN PERTAMA

Pasal 1: Empathy’s Paradox
Empathy is the capacity to understand and respond to the unique experiences of another. Empathy’s paradox is that this innate ability can be used for both helpful and hurtful purposes.

Empati adalah kekuatan bawaan lahir, bagian dari warisan biologis kita, member kita energy, arah dan tujuan dalam hidup. Empati bukanlah suatu perasaan atau sensasi yang tiba-tiba meliputi kita, tetapi suatu  kecerdasn (intelligent), penggalian yang dalam akan apa yang terletak di bawa permukaan dunia kita. Menolong kita untuk memelihara suatu pemahaman keseimbangan dan perspektif dalam bentangan yang terus berubah-ubah (ever changing lascape), empati mengajar kita untuk melenturkan dan membelok, mengiklaskan sesuatu dan masuk ke dalam hubungan-hubungan kita dengan hati dan pikiran yang terbuka.
Empati didefinisikan sebagai kapasitas untuk memahami dan merespon pengalaman-pengalaman unik orang lain. Empathy’s paradox adalah bahwa kemampuan bawaan lahir (innate ability) ini dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang menolong atau merusak. Seperti arus lautan, empati pada saat tertetu dapat sangat tenang dan kemudian dapat menghancurkan secara ganas dalam waktu lainnya. Pendefenisisan selanjutnya, empati juga dipahami sebagai kemampuan untuk melihat ke dalam hati dan jiwa seseorang.


Pasal 2: David

            Dalam pasal ini penulis menceriterkan tentang saudara laki-lakinya yang bernama David. David adalah seorang yang cerdas dan atlet yang berprestasi. Ia mau melanjutkan seolahnya agar dapat menjadi kebanggaaan bagi orangtuanya. Akan tetapi suatu hari ia mengalami kebosanan dan minum bir sampai mabuk. Pada saat mabuk, ada orang yang mengajaknya untuk merampok. Ia melarikan diri sampai suatu ketika penulis mengetahui alamatnya dan menghubunginya lewat telepon. Ia membujuk saudaranya itu untuk pulang karena orangtuanya sangat merindukannya, dan mereka berjanji akan menyewa pengacara supaya ia terlepas dari tuduhan. David mengatakan bahwa dia lebih baik mati daripada dipenjara. Namun penulis terus membujuk dengan mengatakan bahwa orangtua mereka sangat rindu dan  tidak dapat hidup tanpa dirinya. David menyampaikan pesan kepada penulis bahwa dirinya sangat mengasihi orangtuanya. Setelah percakan dengan saudaranya itu, David pergi membeli heroin dan kemudian kembali ke kamarnya dan mengurung diri. Ia menyuntikkan heroin itu ke tubuhnya sehingga ia mati.
            Pada saat David meniggal, penulis berusia dua puluh tujuh tahun, telah meraih gelar master di bidang psikologi konseling dan sedang menyelesaikan tugasnya untuk meraih gelar doctor di universitas Massachusetts. Ketika penulis mengenang peristiwa itu, ia sangat terpukul dan sakit. Kenagan-kenangan itu terpahat dalam pikirannya, dan ia menyimpan semuanya itu dalam kepedihan yang amat dalam. Bahkan ia menyesali dirinya mengapa ketika penguburan pun ia tidak menangis. Apakah karena ia terlalu takut untuk mengangis pun ia tiak tahu. Ia berusaha menyelesaikan studinya, tetapi ia tidak bisa focus, tidak bisa berpikir, tidak bisa bereaksi, dan tidak dapat merasa (feel). Ia kehilangan iman (lost faith dan bertanya-tanya mengapa ia tidak bisa menyelamatkan David. Ia menyadari bahwa pada saat ia mendesak adiknya untuk pulang ia tidak sabaran dan egois. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benaknya memberikan satu jawaban yang cepat—dia tahu bahwa dia tiak ingin mempraktekkan psikoanalisa tradisional, transaksional analisis, terapi Gestald, atau metode-metode standard psikoterapi lainnya. Karena dia menyadari bahwa berbulan-bulan setelah kematian adiknya itu, penulis tidak tahu apa-apa. Dalam interaksinya dengan teman-teman dan professornya di kelas, dia heran melihat kenyataan bahwa sangat sedikit orang berbicara tentang kepedulian caring), pengertian (understanding), seni mendengar (the art of listening), dan bahkan kebaikan manusia yang sangat sederhana. Kebanyakan dari tean-teman dan profesornya hanya mendiskusikan konsep-konsep yang tiada akhir seperti, gaya kognitif dan pertahanan-pertahanan counteractive. Dan akhirnya membuat catalog tentang gejala-gejala pasien dan labeling. Ia juga mendengar dari mereka bahwa kematian David adalah disebabkan oleh “depressive illness”, “personality disorder”, atau “Oedipal Complex” yang belum selesai.
            Akhirnya penulis tiba pada suatu pemahaman tentang empati. Ia memikirkan adiknya adalah sebagai bagian dari empati. Dan dengan empati itu ia mau menyelamatkan dan menyembuhkan jiwanya. Empati menyembuhkan dirinya, dan mengajarkan kepadanya tentang pengampunan, yang membawa dirinya mengalami suatu transformasi.


Pasal 3: Wired for Empathy

Empathy is part of our genetic endowment, a gift bestowed by nature to ensure the survival of all living things.

            Melalui kematian saudaranya, penulis belajar tentang kekutan empati (the power of empaty), untuk menyembuhkan bahkan luka yang terdalam. Empati memberinya insight yang akhirnya membolekannya untuk memulai proses pengampunan dirinya sendiri. Empati membimbingnya dalam berinteraksi dengan orangtuanya sebab mereka sangat bergumul untuk “deal with” dengan dukacita yang tiada berakhir itu. Dan empati membawanya kepada suatu pengertian yang lebih dalam tentang kemungkinan-kemungkinan kreatif untuk pertumbuhan dan merubah hidup semua orang, tidak masalah seberapa bermasalah atau putus asanya mereka. Dia yakin bahwa David masih hidup hingga saat ini jika pada saat itu ada empati dari orang-orang yag mau menolongnya. Seandainya penulis mempunyai kesempatan kedua, ia akan menolong David dengan empati.
            Tanpa empati kita tidak dapat terhubung satu sama lain dalam cara yang penuh arti. Kita akan hidup dlam kesendirian dan kesunyian, pikiran kita tidak akan dapat tersambung dengan emosi kita, setiap kita menjadi pulau-pulau yang tanpa jembatan-jembatan pengertian yang dapat menghubungkan kita.

Empati dalam Otak
            Empati sangat kritis terhadap perkembangan dan bertahan hidup kita, yang secara langsung terpasang (wired) ke dalam otak kita, khususnya ke dalam dua daerah otak yang berbeda tetapi saling berkaitan (interconnected)—amygdale dan neocortex. Amygdala adalah bagian otak yang primitive yang dienal dengan system limbic. Ini adalah otak emosi—generator yang instan terhadap nafsu, kemarahan, frenzy, dan bliss, tempat dimana airmata dibentuk dan ingatan-ingatan pribadi yang sangat berarti disimpan.
            Dengan setiap  orang yang kita jumpa dan setiap situasi baru yang kita temukan, pertanyaan amygdale yang paling kuat adalah: apakah aku dalam bahaya yang menyakitkan? Jika jawabannya adalah ya, amygdale segera mengirim peringatan keluar yang memicu hormone-hormon, memoblisasi otot-otot untuk bertindak, memaksa darah ke jantung, dan menciptakan kesiapan untuk melarikan diri dari bahaya atau bersiap menghadapi bahaya. Reaksi yang otomatis ini disebut dengan fenomena fight or flight, melawan atau melarikan diri.



Pasal 4: Expressing Empathy

                        “Being empathic is much more than having empathy”

            Empati mulai dengan pemahaman, tetapi berbeda dengan apa yang dipikrkan kebanyakan orang, empati tidak berhenti disana. Empati tidak hanya mengatakan, “Aku mengerti apa yang sedang kau rasakan atau pikirkan.” Itu hanyalah langkah awal dalam suatu proses yang panjang dan effortful. Karena ketika kita memmpunyai pengetahuan dan pengertian yang cukup, empati meminta bahwa kita harus mewujudkan ide-ide kita dalam tindakan-tindakan nyata. Being empathic (menjadi berempati) adalah lebih penting dari pada having empathy (memiliki empati), karena itulah yang kita lakukan sehingga empati berarti. Menggerakkan pemahaman kita dari dalam ke luar, kita dapat belajar mengekspresikan empati degan cara yang konstruktif/membangun, selalu dengan maksud untuk menolong bukan menyakiti.
            Mengekspresikan empati bukanlah suatu proses langkah demi langkah yang sederhana “mengatakan ini” atau “lakukan itu”. Sebenarnya, para psikolog yang mempelajari empati menekankan kerja keras yang dilakukan dalam pemahaman yang akurat tentang emosi orang lain dan kemudian merespon dalam cara-cara yang menghormati keunikan individu dan situasi.
            Kebanyakan orang membayangkan empati sebagai suatu respon emosional yang otomatis terhadap perasaan-perasaan atau pikiran-pikiran orang lain. Kata otomatis memang penting, karena kita memvisualisasikan empati sebagai suatu kesegeraan, reaksi yang spontan terhadap kepedihan, sukacita, dukacita atau ketakutan orang lain. Pemahaman yang seperti ini adalah suatu emosi yang submissive, a giving in and letting go, a short virtual reality—we put ourselves in the other person’s shoes, secara passif menyerap pengalamannya, seolah-olah mengamati dunia dari matanya, merasakan emosi-emosinya, bahkan memikirkan pikiran-pikirannya.
            Kemampuan membaca pikiran orang lain adalah kemampuan yang penting, tidak perlu diragukan tentang hal itu, tetapi jika empati berakhir disana, itu tidak berbuat banyak. Ketika kita dapat menggunakan empati untuk meraih suatu pemahaman yang lebih baik satu dengan yang lainnya, sensitifitas yang meningkat itu tidak perlu membawa kita pada aksi. Empati adalah salah satu dari pengalaman-pengalaman emosional. Kita merasakannya, tetapi apa yang dapat kita perbuat tentang itu? Inilah suatu kebenaran tentang empati: Jika kita tidak melakukan apa-apa tentang insights kita teradap pikiran dan perasaan orang lain, kita bukanlah orang yang berempati. Jika kita hanya duduk disana dipenuhi dengan emosi yang dibagkan (shared emotion tetapi tidak bersedia atau tidak mampu membuat transisi dari perasaan ke aksi, kita sedang menyangkal empati. Karena empati selalu action-oriented.
            Mengetahui bagaimana menaruh empati ke dalam tindakan adalah suatu seni yang membutuhkan latihan, dan seperti seni lainnya, respon yang empatik butuh kesabaran, kesungguhan dan fleksibilitas. Empati bukanlah suatu alat atau tekhnik yang dapat dengan mudah dikuasai. Tetapi, empati adalah suatu kemampuan bawaan (innate capacity) yang perlu diasah dan diperhatikan secara hati-hati.
            Belajar bagaimana mengekspresikan empati—menaruh pikiran dan perasaan dalam kata-kata yang akan menemukan jalannya ke dalam hati dan jiwa orang lain—membutuhkan kesadaran diri (self-awareness), rfleksi yang hati-hati, dan sejumlah praktek yang penuh pertimbangan. Untuk menolong orang belajar bagaimana mengekspresikan insight mereka guna menolong bukan menyakiti, berikut hal penting yang perlu dilakukan:
1.      Ask open-ended questions
2.      Slow down
3.      Avoid snap judgment
4.      Pay attention to your body
5.      Lear from the past
6.      Let the story unfold
7.      Set limits
Pasal 5: Empathic Litening

“Empathic listening is always centered on the other person, and it is goal is to make the oter feel uniquely understood.”
           
            Ada ungkapan yang mengatakan bahwa kita diberi dua telinga dan satu mulut, artinya bahwa kita harus mempergunakan waktu untuk mendengar dua kali lebih banyak dari berbicara. Tetapi siapaakah diantara kita yang lebih sedikit berbicara? Ketika kita mendengar, apakah kita benar-benar mendengar atau justru mempersiapkan apa yang akan kita katakana apabila tiba giliran kita untuk bicara? Bagaimanakah seharusnya mendengar, lebih penting lagi bagaimanakah seharusnya mendengar secara empati?
            Kelitannya mendengar itu mudah—kita hanya berhenti berbicara dan memusakan perhatian terhadap apa yang dikatakan orang lain. Akan tetapi dari semua keahlian dalam beempati, mendengar (listening) butuh konsentrasi dan focus, karena ada banyak cara yang membuat perhatian kita beralih (distracted). Banyak orang mendengar dengan hanya setengah telinga (half an ear), menunggu gilirannya untuk bicara, tetapi sepanjang itu pula ia mempersiapkan apa yang akan dikatakan ketika orang lain bicara. Kita cenderung mendengar dengan membias, making up our minds sebelum kita mendengar cerita seutuhnya. Kita mendengar dengan simpati, menghubungkan semua apa yang dikatakan orang lain dengan pengalaman-pengalaman kita sendiri dan kemudian membuat komentar yang tidak menghormati keunikan pikiran dan perasaan orang lain, “Saya benar-benar mengerti apa yang kau rasakan” atau “Aku tahu apa yang kamu maksudkan”. Dan kemudian kita teralih oleh kebisingan yang berasal dari suara-suara internal kita sendiri, menilai atau menduga-duga diri kia sendiri.
            Mendengar dengan empati perlu mengesampingkan pandangan self-centered dunia kita dan kemudian berparticipasi sepenuhnya dalam pengalaman orang lain. Mendengar dengan empati memerlukan pemusatan perhatian, tiak hanya kepada kata-kata yang diucapkan tetapi juga kepada bahasa tubuh, general posture, posisi tubuh dan ekspresi wajah. Ketika kita mendengar dengan empati, kita membuat usaha yang sadar untuk mengesampingkan bias-bias kita. Kita belajar bagaimana menghubungkan perasaan kita dengan emosi-emosi orang lain tanpa terbawa ole mereka, melangkah masuk dan melangkah mundur. Dan kita menemukan bagaimana hidup mendua dan ketidakmampuan menemukan jawaban atau solusi terhadap semua masalah. Kemampuan endengar seperti ini adalah suatu jenis mendengar yang kudus (holy listening).
            Pendengaran empatic (kudus) masuk secara mendalam ke dalam hati dan jiwa seseorang untuk menyingkapkan apa yang disembunyikan oleh ketakutan, amarah, grief, atau keputusasaan orang tersebut. Jenis mendengar yag seperti ini dapat dipelajari, dapat diteruskan dari seeorang kepada orang lain. Kita belajar bgaimana mendengar dengan empati dengan berada disekitar orang yang empatik dan mengerti bagaimana mendengar jiwa kita. Ketika kita tahu melalui pengalaman kita sendiri, kemampuan mendengar empatik itu akan kita serap, sehingga menguatkan hubungan kita dengan orang lain dan diri kita sendiri.
            Empati bukanlah simpati. Empati, seperti yang telah disebutkan diatas adalah kemampuan bawan yang memotivasi kita untuk bertindak compassion dan altruism. Simpati adalah emosi, pengalaman pasif dari apa yang di-sharing-kan oleh seseorang. Simpati berarti “to suffer or experience with.” Empati berarti “menderita atau mengalami dalam.” Mungkin hal ini sulit dipahami, tetapi gamabarannya adalah seperti mencampurkan air dengan minyak versus mencampurkan air dengan susu. Dengan simpati, minyak dan air berdiri berdampingan, bersentuhan dan berinteraksi, tetapi selalu mempertahankan identitas mereka yang terpisah—dua orang bersama dalam pengalaman-pengalaman mereka yang terpisah. Dengan empati, air dan susu bercampur (intermix) sehingga masing-masing menjadi yang lain dan bersama mereka menciptakan suatu keseluruhan—dua orang berada dalam pengalaman yang sama dibagikan (same shared experience).
            Mendengar yang empati selalu berpusat pada orang lain, dan tujuannya adalah untuk membuat orang lain merasa dimengerti secara unik. Ini artinya menjaud dari yang uum ke yang spesifik, dari yang tumpul menjadi tajam, umum ke yang jarang, lama ke baru, biasa ke yang luar biasa. Simpati kembali ke masa lalu, mengekspresikan suatu pengertian perasaan yang umum berdasarkan pengalaman yang biasa. Empati selalu focus pada saat sekarang, pada apa yang sedang terjadi sekarang.
Mendengar yang simpatik dapat merusak hubungan karena terlalu digeneralisasi. Ketika orang dalam masalah atau kepedihan, kerinduannya yang paling dalam adalah dimengerti, pengharapan bukan peraturan. Simpati membolehkan kita menderita dengan orang lain tanpa pernah dekat dengannya. Sebaliknya empati go deeper, to listen with rapt attention, to understand, to mix in dan share another person’ heart and soul.  
           

Pasal 6: Sex, Intimacy, and Empathy

We touch bodies when we have sex, but we can only touch hearts and souls with empathy guiding the way.

            Bagaimanakah kita memaknai kembali (put meaning)—feeling, passion, heart, dan soul—sex? Jawaban satu-satunya adalah empati, karena hanya dengan empatilah kita dapat meraih keintiman yang sejati, keadaan pemahaman bahwa pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain ketika secara simultan mengetahui bahwa orang lain itu memahami pengalaman-pengalaman kita yang paling mendalam. Sentuhan jiwa (touching soul) adalah impian kita dalam semua hubungan yang intim, termasuk sex, tetapi kita dapat mendekati jiwa seseorang tanpa bimbingan empati.
            Sex tidaklah hanya suatu rasa lapar, haus, atau rasa gatal yang harus digaruk. Jika pemahamannya demikian, masturbasi akan dapat memuaskan semua keinginan sexual kita. Apa yang kita cari dalam pengalaman sexual tidaklah semata-mata hanya pelepasan ketegangan (tension) melainkan momen perpaduan dua jiwa yang secara simultan meneguhkan dan memperluas hubungan di antara kita. Inilah keintiman yang paling puncak, saat dimana dua jiwa dan dua hati menyatu.
            Bagaimanakah empati menciptakan keintiman, melampaui daya tarik fisik untuk meliputi hati dan jiwa? Daripada mencoba menggambarkan hubungan manusia yang sempurna, penulis percaya kita dapat belajar tentang kuasa empati (the power of empathy) dengan menyaksikan bagaimana kuasa empati itu dapat memimpin kita dari hubungan permukaan (superficial connection) kepada hubungan yang dalam, heartfelt yang menerima keberadaan pribadi secara menyeluruh, dan semua ketidaksempurnaannya. Penerimaan itu mencakup hal-hal yang internal dan eksternal, karena pada saat yang sama empati merangkul orang lain, menuntun kita untuk menerima diri kita sendiri dengan segala keterbatasan dan kekurangan atau kelemahan (shortcomings) kita. Melalui empati kita belajar bagaimana saling mengasihi secara mendalam dan benar, dan kita menemukan mengapa pencarian terhadap pribadi yang sebenarnya (the real person) bukan orang yang benar adalah merupakan pusat pencarian kita akan kebahagiaan.
            Dalam semua hubungan manusia kita mengalami (go through) berbagai tahapan keintiman, yaitu:
1.      Tahap idealisasi (idealization), saat kita jatuh cinta dan dari ujung posisi itu kita melihat hidup dengan cara yang terdistorsi.
2.      Tahap polarisasi, ketika kita bergerak dari ide bahwa segala sesuatunya adalah “wonderful, perfect, all I ever wanted,” menuju sudut pandang yang berlawanan, dimana kita menjadi asyik atau khusuk dengan cacat-cacat kecil dan cela dalam diri orang lain. Memperhatikan semua ketidaksempurnaan, yang mau kita sembunyikan karena titik-titik lemah itu merefleksikan kembali kerapuhan-kerapuhan kita sendiri.
3.      Integrasi (integration). Karena visi kita meluas untuk meliputi gambaran yang menyeluruh, kita memperhitungkan orang lain secara utuh, yang mencakup bagian-bagian “baik” dan “buruk”nya. Kita belajar melihat hal-hal yang sebenarnya dan membiarkan/menerima apa adanya (let go) apa yang sebenarnya yang inconsequential.


Pasal 7: The Dark Side of Empathy

            Empathy can help us sense danger. It can let us see into the hearts and minds of people who intend to deceive, manipulate, or harm us.

            Disini penulis menceriterakan tentang suatu peristiwa pemerkosaan yang dialami oleh Kelly. Peristiwa yang dialaminya adalah akibat dari sisi gelap empati yang dipergunakan oleh si pemerkosa. Si pemerkosa berempati terhadap kebutuhan psikologis Kelly. Ia menawarkan bantuan dan pada kesempatan tertentu ia pun memperkosa dan berencana untuk membunuh Kelly. Terhadap hal ini, penulis menyebutkan ada sepuluh langkah bagaimana menghindari sisi gelap empati:
Langkah pertama        : Learn the difference between authentic and functional empathy
Langkah kedua            : Know your longings
Langkah ketiga            : Learn to trust your natural instincts
Langkah keempat       : Pay attention
Langkah kelima           : Beware of uninvited intimacy
Langkah keenam         : Beware of hot and cold extremes
Langkah ketujuh          : Avoid blamers
Langkah kedelapan     : Watch out for self-serving reinterpretation
Langkah kesembilan   : Watch for inconsistent behavior
Langkah kesepuluh     : Remember: Empathy is not synonymous with kindness.


BAGIAN KEDUA

Empathy in Action
            Empati berfungsi untuk dua hal, memandu dan menjaga, menuntun kita sepanjang jalan menuju keintiman, hubungan yang bertahan lama dan pada saat yang sama mengajar kita bagaimana mempertahankan diri kita dalam menghadapi orang yang berniat jahat dan menipu kita.Dalam bagian pertama kita telah menyelidiki akar-akar biologis empati dan peran pentingnya untuk memampukan kita memahami diri kita sendiri, satu dengan yang lainnya, dan dunia yang kita diami. Empati adalah suatu keahliah bertahan hidup, suatu kapasitas bawaan lahir untuk memahami pikiran-pikiran orang lain dan suatu kemudi yang kuat yang menginspirasi kita untuk menciptakan hubungan-hubungan yang erat dan masyarakat-masyarakat yang peduli (caring communities). Suatu elemen social yang fundamental, intelektual, dan perilaku moral; empati memotivasi kita untuk melakukan kebaikan dan altruism, membawa kita jauh ke dalam hati manusia. Mempraktekkan empati meningkatkan kesadaran-diri kita, menguatkan hubungan-hubungan kita, dan menolong kita untuk memahami orang yang mungkin saja pada awalnya kelihatan aneh atau tidak ada kasih. Memperluas perspektif kita dan membuka pikiran kita, tanpa dapat diukur, empati member tambahan terhadap kehidupan yang menyenangkan dan kompleksitas.
            Dalam bagian kedua penulis menggali empati dalam tindakan, menunjukkan bagaimana kita mengalami empati melalui delapan perilaku atau cara ada (ways of being) yang terkadang diklasifikasikan sebagai prinsip-prinsip moral atau spiritual—kejujuran, kerendahhatian, penerimaan, toleransi, gtratitude, iman, pengharapan, dan pengampunan.


Pasal 8: Honesty

                                    Lying to ourselves is more deeply ingrained than lying to others.

            Kejujuran adalah darah kehidupan empati, oksigennya, nafas kehidupannya. Jika kita mengesampinkan kejujuran, empati kehilangan alasannya untuk ada. Karena bagaimana kita dapat berhubungan dengan orang lain dengan cara yang penuh makna jika kita tidak dapat dipercaya? Jika kita tidak mempersembahkan ketulusan, bagaimana kita dapat mengharapkan ketulusan dari orang lain.
            Jika kita menjadi jujur dengan orang lain, bagaimanapun juga, kita harus jujur dengan diri kita sendiri. Semua hikmat yang sebenarnya—dan kemampuan untuk bersama antara satu dengan yang lainnya tentulah suatu manifestasi hikmat yang penting—adalah berakar dalam pengetahuan diri. “kenalilah dirimu,” kata Socrates. Untuk mengenal diri kita sendiri, kita haruslah sepenuhnya jujur dengan diri kita sendiri.
            Kita perlu jujur tidak hanya dengan diri kita sendiri tetapi juga dalam hal bagaimana kita merasa/menduga (perceive) orang-orang yang berada di sekitar kita.
            Empati mendefinisikan kejujuran sebagai kemampuan melihat diri sendi secara jelas, memahami orang lain secara akurat, dan di atas semua itu, empati adalah kemampuan untuk mengkomunikasikan persepsi-persepsi itu secara sensitive, tactful ways.
            Empati, pertama dan terutama, adalah kemampuan, secara akurat, untuk memahami pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain. Disini, kata akurat sangat penitng, karena jika pemahaman kita salah maka respon-respon kita akan disalaharahkan. Keakuratan persepsi-persepsi kita, secara langsung mempengaruhi kesensitipan respon kita.
            Untuk mempraktekkan kejujuran ada hal-hal penting yang harus dilakukan:
·         Learn the difference between constructive and destructive truth-telling
·         Be respectful
·         Use honesty to set limits
·         Use your thoughts to cool down your emotions
·         Be honest with yourself
·         Every day, without fail, ask: what am I hiding?
·         Establish safety first.


Pasal 9: Humility

Imagine that every person in the world is enlightened but you. They are all your teachers, each doing the right things to help you learn patience, perfect wisdom, perfect compassion.

            Kerendahan hati (rendah hati) adalah tempat keseimbangan dimana kita mengetahui siapa kita dan siapa bukan kita (who we are not). Empati membimbing kita kepada suatu posisi dengan tetap membuat kita focus pada kebenaran perilaku kita, gently membuka mata kita dan membolehkan diri kita untuk melihat siapa diri kita sehingga kita dapat menghindar dari ketergelinciran, oleh pergumulan,  ke dalam sesuatu yang bukan diri kita. Kapan saja kita menaruh diri kita dalam suatu tempat yang istimewa, menganggap situasi kita adalah unik atau peraturan tidak berlaku bagi kita atau kita berada di atas semua itu, kita telah mengurangi kekuatan empati. Menghadirkan diri kita sebagai yang berbeda atau lebih baik, atau lebih pintar dari orang lain, berarti kita menciptakan suatu jarak yang hanya akan membawa kita kepada kesalahpahaman. Empati selalu berusaha untuk membawa kita lebih dekat antara satu dengan yang lain, mengingatkan kita bahwa kita saling membutuhkan, in fact, kita tidak dapat berhasil tanpa orang lain. Empati selalu menekankan underlying dan overpowering connection kita dengan orang lain dan dengan dunia.
            Empati mendefinisikan kerendah-hatian sebagai tempat keseimbangan dimana kita mengakui kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan kita. Dengan kerendah-hatian kita menghindari perangkap kesombongan atas apa yang kita raih dan penghancuran diri dengan membesar-besarkan kesalahan kita. Psikiatris Fritz Perls menjelaskan perbedaan antara the balanced person, the neurotic, dan the psychotic dengan cara demikian: The psychotic insists, “I am Abraham Lincoln”; the neurotic complains, “I wish I were Abraham Lincoln”, and the balanced person says, simply, “I am who I am.”
            Kerendah-hatian adalah sinonim dengan apa yang disebut narcisme yang sehat (healthy narcissisism), yang berarti bahwa kita mengerti bagaimana mempersembahkan sejumlah energy yang seimbang dari dalam keluar diri kita sendiri dan kepada orang lain. Kita dapat mengatakan “Aku adalah aku” tanpa menyombongkan diri (“I am who I am, and I am the greatest”) atau tanpa mengecilkan diri kita sendiri dengan kerendah-hatian yang palsu (“I am who I am, and I am nothing”). Humility menolong kita untuk menemukan keseimbangan antara semua dan yang tidak ada (nothing).
            Dengan empati kita menemukan rasa aman dalam realitas kita sendiri, mengetahui bahwa kita dilokasikan di suatu tempat antara the extremes of everything and nothing. Humility is the very foundation of empathy.
            Untuk mempraktekkan kerendah-hatian (humility), berikut hal-hal yang perlu dilakukan:
·         Ask for help
·         Put other people’s need above your own
·         Listen
·         Say your prayers
·         Consider your mortality


Pasal 10: Acceptance

The fir tree has no choice about starting its life in the crack of a rock… what (nourishment) it finds is often meager, and above the ground appears a twisted trunk, grown in irregular spurts, marred by dead and broken branches, and bent far to one side by the battering winds. Yet at the top…some twigs hold their green needles year after year, giving proof that—misshapen, imperfect, scarred—the tree lives.

            Dalam bukunya yang klasik On Becoming a Person, Carl Rogers, mendefinisikan penerimaan (acceptance) demikian:
By acceptance I mean a warm regard for him as a person of unconditional self-worth—of value no matter what his condition, his behavior, or his feelings. It means a respect and liking for him as a separate person, a willingness for him to possess his own feelings in his own way. It mean an acceptance of and regard for his attitudes of the moment, no matter how negative or positive, no matter how much they may contradict other attitudes he has held in the past. This acceptance of each fluctuating aspect of this other person make it for him a relationship of warmth and safety, and the safety of being liked and prized as a person seems highly important element in a helping relationship.
           
            Empati mendefinisikan penerimaan (sikap menerima) sebagai suatu tiga tahap (a three-stage), yang terus-menerus dalam proses. Dalam tahap pertama, kita belajar menerima diri kita sendiri dengan semua kontradiksi dan komplikasi kita. Penerimaan diri memimpin kita ke tahap kedua, dalam mana kita belajar menerima orang lain dengan semua kontradiksi dan komplikasi mereka. Dan tahap ketiga, kita menerima kontradiksi dan komplikasi yang tidak dapat dihindarkan yang muncul dalam setiap hubungan manusia ketika dua pihak yang berkonflik atau bertentangan bertemu. Empati memungkinkan terjadinya penyerahan, mengingatkan kita bahwa adalah OK untuk tidak OK. I am not okay, and you are not okay—but that’s okay.
            Empati membawa kita pada penerimaan dengan memperluas perspektif kita. Kita melihat diri kita, dengan mata lebar, dalam gambar yang besar. Menempatkan diri kita dalam konteks hubungan kita dengan orang lain. Menemukan tempat kita dalam komunitas yang lebih luas, kita belajar bahwa kita hanya dapat menerima diri kita jika kita menerima kebutuhan kita bagi orang lain.
            Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan dalam mempraktekkan penerimaan:
·         Let go
·         Learh how to accept criticsm
·         Remember: growth through suffering
·         Find the place where you fit
·         Spend time alone
·         Take your time


Pasal 11: Tolerance

In a real sense all life is interrelated. All (people) are caught in an inescapable network of mutuality, tied in a single garment of destiny.

            Belajar bagaimana “mengangkat” (to put up) dengan orang lain adalah salah satu tugas yang paling menantang yang kita hadapi setiap hari. Kita saling membutuhkan, itu sangat jelas—lusinan studi-studi psikologi memberikan drama pembuktian bahwa kesehatan fisik dan emosi kita tergantung pada kasih saying, hubungan yang mendukung. Para psikolog, neurology, dan filsuf sepertinya setuju bahwa ada suatu fundasi biologis untuk kebutuhan kita menciptakan hubungan yang dekat dan penuh cinta kasih. Kebutuhan dasar untuk saling berhubungan ini adalah dikuatkan oleh empati.
Empati mengijinkan kita untuk berkomunikasi satu dengan yang lain, saling mengerti, dan yang paling penting, kita belajar untuk bagaimana hidup antara satu dengan yang lain. Kita saling sabar menghadapi (tolerate) antara satu dengan yang lain karena kita dapat menekankan bahwa empati adalalah dasar biologis toleransi. Jika kita semua sama, merasakan emosi yang sama, memikirkan hal-hal yang précis dipikirkan rang lain, kita tidak akan membutuhkan empati—kita akan secara otomatis benar-benar mengetahui apa yang setiap orang sedang pikirkan rasakan karena pikiran-pikiran dan emosi-emosi mereka akan menjadi replica yang sempurna dari pikiran dan perasaan kita. Tetapi kita tidak mempunyai pemikiran dan perasaan yang sama; kenyataannya, kebanyakan kita merespon dengan cara kasar yang berbeda bahwa adalah aneh bagi kita untuk benar-benar bergaul dengan baik.
Alasan kita bergaul dengan baik adalah empati, yang oleh Ross Buck dan Benson Ginsburg, didefinisikan sebgai “a primordial capacity for communication that inheres in genes.” Empati adalah bahasa bersama kita. Meskipun kata-kata tidak ada, kita masih bias berkomunikasi melalui ekspresi mata kita, mengubah mimic wajah kita, sentuhan tangan, dan kapasitas untuk mengerti (capacity for insight) yang memampukan kita untuk saling melihat hati dan jiwa kita serta kebenaran. Dengan empati, perbedaan-perbedaan di antara kita runtuh, dan kita bisa melihat kebersamaan yang yang kita miliki—hasrat hati untuk koneksitas, jiwa yang rindu terhadap pengertian. Empati mengarahkan kepada toleransi, yang dapat dideginisikan sebagai kemauan to put up with differences; as empathy expands our consciousness throughout our lives, it works to create an active appreciation and abiding repect for the great diversity of life on this planet.
Empati mendefinisikan toleransi sebagai the ever-expanding capacity to understand human nature in depth. Tolerance goes deep. Looking beyond the superficial outer layers—the color of people’s skin, the neighborhood they live in, the degrees they hold, the careers they pursue, the church they attend—to the inner heart and soul, we discover our common ground. We are all human being.Empati which is the act and the process of enlarging our perspective by looking at the world through other people’s eyes, leads to tolerance as surely a narrow mind leads to hatret and violence. As our vision expands we begin to see people in a new light. Understanding the pain of those who are the victims of prejudice and intolerance, we feel moved to speak out against it. Empathy is the antidote to the poison of prejudice.
Empati menuntun kita kepada toleransi, karena hanya dengan empati kita dapat membangun jembatan kepada orang lain yang tidak sama dengan kita. Hanya dengan empati kita dapat menjangkau atau meraih orang yang pada awalnya ingin kita singkirkan karena kita membayangkan bahwa dalam kebrutalan mereka atau kebodohan mereka, mereka tidak sama dengan kita. Empati mengingatkan kita bahwa kejahatan dalam diri orang lain adalah suatu potensi yang juga kita bawa dalam hati kita sendiri. Kapasitas untuk membenci, balas dendam, tidak mau mengampuni, bahkan membunuh ada dalam dirimu sebagaimana ada dalam diriku, sebagaimana juga ada dalam diri semua orang. Realisasi kerendah-hatian dan penerimaan dari bayangan diri kita sendiri benar-benar menuntun kita untuk bertoleransi.
Toleransi dimulai dengan kemauan untuk mendengar. Mendengar dengan empati berarti bahwa anda mengesampingkan diri anda dan masuk ke dalam pengalaman orang lain. Toleransi juga melibatkan kemampuan mendengar, yang  mana berbeda dengan kemauan mendengar. Banyak orang adalah orang-orang yang mau mendengar, tetapi mereka menyela, menasehati, dan menghakimi—dengan kata lain, mereka memotong empati melalui kemampuan mendengar mereka yang sederhana. Listening adalah seni yang membutuhkan waktu, disiplin, dan praktek.
Hal-hal penting yang perlu dilakukan untuk mempraktekkan toleransi adalah:
·         Be patient
·         Give yourself extra time
·         Take of your watch
·         Banish the words “hurry up” from your vocabulary
·         Take the other person’s perspective
·         Exhale
·         Smile
·         Speak up
·         Avoid criticism and its gentler (but not less harmful) cousin, teasing
·         Beware of anger and hostility
·         Beware to much tolerance


Pasal 12: Gratitude
There is only one real deprivation…and that is not to be able to give one’s gifts to those one loves most.

           
            Berterima kasih (gratitude), dalam kamus empati, tidak hanya suatu perasaan tetapi suatu cara mengalami dan berinteraksi dengan dunia. Merasa berterimakasih (grateful) adalah baik, tetapi empati menuntut bahwa kita perlu melakukan sesuatu tentang sensasi itu. Keeping gratitude to ourselves misses the whole point of the experience, for the gratitude, in empathy’s book, is a response that links one person to another.
            Untuk mempraktekkan gratitude, berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan:
·         Slow down
·         Ask: what do I need?
·         Say thank you as often as you can
·         Let people know you appreciate them
·         Use gratitude to organize your life
·         Learn to delay gratification


Pasal 13: Faith
As you go the way of life, you will see a great chasm. Jump.
It is not as wide as you think.

            Iman diinspirasi oleh kepercayaan terhadap kebaikan dasar dalam hati manusia. Iman member rasa percaya diri bahwa jika engkau bekerja keras, engkau akan melihat hasil-hasil. Tetapi iman empati juga berakar dalam keraguan. Berikut adalah penjelasan paradox yang tampak ini. Penulis mempunyai iman dalam observasi-observasi berikut:
·         Hubungan manusia adalah menyembuhkan
·         Empati adalah suatu kapasitas bawaan yang dapat berkembang melalui hubungan
·         Empati mengurangi stress, menghilangkan kekuatiran, meningkatkan kesadaran-diri, menguatkan optimism, menyelesaikan konflik, dan menciptakan keintiman.

Iman yang berasal dari empati adalah realistis, dan keraguan adalah fondasinya yang kuat. Dari keraguan—yang melibatkan keheranan, imajinasi, bertanya-tanya, mempertanyakan jawaban—kita telah menaruh kaki kita di jalan iman. Meragukan adalah mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan—dan bagaimanakah kita dapat menerima jawaban jika kita tidak pernah bertanya? Keraguan adalah pertanda bahwa pikiran mencari. Jelaskan itu padaku kata si peragu. Tolong aku untuk dapat mengerti. Dan jangan hanya mengatakannya kepadaku—tunjukkan kepadaku. Tunjukkan, jangan katakana—itu adalah yang paling penting dalam pengajaran. Keraguan bertumbuh dari kepercayaan-diri, dan kepercayaan diri adalah unsure penting dalam iman. Jika kita tidak mempunyai iman dalam diri kita, bagaimana mungkin mengembangkan iman dalam realita-realita yang abstrak seperti empati, harapan, gratitude, dan pengampunan?
Iman sering ditemukan dalam kegelapan, ketika kita merasa tersesat dan takut, tidak yakin akan diri kita sendiri dan tempat kita di dunia ini. Kita membutuhkan iman ketika sepertinya kita kehilangan alas an untuk percaya. Kita membutuhkan iman pada sat krisis, tetapi iman juga melayani kita dengan baik dalam aktivitas normal sehari-hari. Ketika kita melakukan kesalahan, kita mempunyai iman bahwa pada masa yang akan dating kita akan berusaha menghindari kesalahan yang sama. Ketika anak-anak kita bertengkar, kita mempunyai iman bahwa mereka masih akan saling mengasihi pada hari yang akana dating. Ketika kita berdebat dengan teman, kita mempunyai iman bahwa hubungan kita akan bertahan. Ketika orang yang kita kasihi meninggal, kita mempunyai iman bahwa cintanya akan tinggal bersama kita selama hidup kita.
Untuk mempraktekkan iman, berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan:
·         Find a stepping-stone
·         Have your doubt
·         Beware of cynicism
·         Don’t be afraid to talk back to God

           
Pasal 14: Hope

Death is not the ultimate tragedy of life. The ultimate tragedy is depersonalization—dying in an alien and sterile area, separated from a desire to experience the things that make life worth living, separated from hope.

            Pada hakekatnya kita adalah orang-orang yang optimis. Semua kita ingin untuk percaya, karena dengan percaya kita dapat bertahan terhadap segala hal. Tetapi hidup terkadang menghantam dan kepercayaan menghilang dari kita, namun dalam ketenangan yang menghanyutkan itu, empati dapat membawa kita kembali untuk mempunyai pengharapan.
            Hope yang diinspirasi oleh empati selalu realistis. Hope bukanlah kepercayaan bahwa segala hal akan mengubah segala sesuatunya menjadi baik-baik saja, melainkan hope adalah keyakinan bahwa meskipun sesuatunya salah, namun kita akan menemukan cara untuk melaluinya. Entah bagaimana, dalam bahasa sederhana empati, selalu melibatkan hubungan-hubungan. Melalui hubungan-hubungan kita dengan dunia, satu sama lain, dan dengan diri kita sendiri, empati menjamin kita bahwa kita akan melaluinya.
            Pengharapan empati adalah ulet dan ngotot. Tidak peduli berapa kali harapan terpukul jatuh, ia tetap bangun lagi. Hope ada dalam kedua sikap kita (“I can do it”) dan dalam tindakan kita (“I will do it”). Hope adalah cara “menguatkan hati”—artinya, menemukan sesuatu untuk dipercaya, dan kemudian mengerjakannya agar berhasil. Hope tercipta melalui usaha yang besar, kerajinan, kesabaran, dan konsentrasi. Kita mencari harapan melalui komitmen kita untuk menaruh satu kaki kita tetap berada di depan. Tetapi untuk mengembangkan sikap yang penuh pengharapan—belajar untuk bagaimana percaya pada diri kita—kita butuh orang lain untuk dapat percaya kepada kita juga.
            Empati menuntun kita kepada pengertian, yang selalu menghasilkan harapan. Ketika kita memasuki suatu situasi dengan empati, berusaha keras untuk memahami semua kompleksitas, kita menyadari bahwa tidak hanya ada satu jalan dalam hidup.
            Untuk mempraktekkan harapan (hope0 hal-hal berikut perlu dilakukan:
·         Argue with yourself
·         Look for solution
·         Listen to music
·         Watch the movie it is a wonderful life
·         Avoid the word always
·         Use your memory
·         Be willing to change


Pasal 15: Forgiveness

“Since nothing we intend is ever faultless, and nothing we attempt ever without error, and nothing we achieve without some measure of finitude and fallibiality we call humanness, we are saved by forgiveness.”

            Ketika kita berpikir tentang pengampunan, kita membayangkannya sebagai sesuatu yang kita perbuat kepada orang lain—saya mengampunimu. Akan tetapi inti pengampunan adalah tindakan dan proses mengampuni diri kita sendiri.
            Empati mempelebar pandangan kita tentang dunia dan dari perspektif yang diperluas, kita menemukan pengampunan bagi diri kita sendiri dan orang lain. Empati menyingkapkan pengampunan sebagai suatu proses membuka, bukan suatu tindakan yang telah lengkap dan kemudian dikesampingkan. Pengampunan dating perlahan-lahan, sebagaimana kita terus-menerus belajar dari tragedy-tragedi dan trauma-trauma masa lalu dalam usaha yang sedang berlangsung melebihi mereka. Tetapi dengan waktu dan usaha, kita mampu terus maju, membangun di atas masa lalu daripada mengulang-ulanginya tanpa akhir.
            Pengampunan dating bersama dengan pengalaman. Empati membolehkan kita untuk memahami pada suatu tingkat yang lebih dalam dimana kita berada, dan melalui pengertian itu kita menyadari mengapa pengampunan penting. Pengampunan bukanlah sesuatu yang dapat kita perintahkan atau kendalikan, tetapi suatu pengalaman yang muncul melalui kerja keras empati. Berusaha mengerti, membuka hati dan pikiran kita terhadap apa yang telah disembunyikan dari pandangan, kita dapat melihat apa yang tidak dapat kita lihat sebelumnya, dan dalam perspektif yang telah diperluas itu pengampunan datang kepada kita.
            Bagaimanakah empati mengajari kita untuk mengampuni diri kita sendiri? Inilah pertanyaan utama, tentunya—karena andaikan pun kita tahu apa pengampunan itu, apa yang sebenarnya kita ingin mengerti adalah bagaimana melakukannya. Bagaimanakah kita menemukan pengampunan, dan apakah yang kita lakukan terhadapnya ketika kita menemukannya? Bagaimanakah pengampunan menuntun kita dari masa lalu ke masa sekarang, menuntun kita untuk memperluas kesadaran-diri kita dan menguatkan hubungan kita?
            Dalam agama Yahudi pengampunan dipahami sebagai suatu proses empat tahap:
1.      Engkau mengakui bahwa engkau melakukan sesuatu yang salah
2.      Engkau minta maaf kepada siapa engkau berbuat salah
3.      Beri konpensasi kepada orang itu kapan pun engkau bisa.
4.      Berusahalah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Empati mempersembahkan pendekatan yang sama terhadap pengampunan, tetapi penekanan utama adalah mengembangan hubungan satu dengan yang lain.

Lima tahap empati untuk pengampunan:
Tahap 1: Awareness
Tahap 2: Seeking
Tahap 3: Moving outward
Tahap 4: Change
Tahap 5: Commitment
            Pengampunan adalah tindakan utama untuk keterhubungan (connectedness). Saya mengampunimu karena saya adalah engkau. Dalam mengampunimu, saya mengampuni diriku, saya mengampuni dunia.
            Hal-hal penting yang perlu dilakukan untuk mempraktekkan pengampunan:
·         Wipe the slate clean
·         Write to yourself
·         Burn your bitterness
·         Sit still

           
II.        KESIMPULAN DAN TANGGAPAN
Buku ini menjelaskan bagaimana pemahaman tentang empati dijelaskan dengan luas dan mendalam. Ternyata empati itu tidak hanya masalah memahami perasaan atau keadaan orang lain saja. Lebih jauh lagi empati itu ternyata mempunyai sisi gelap (paradox) yang apabila disalahgunakan oleh orang yang mempunyai kemampuan berempati untuk kepentingan dirinya. Untuk memampunkan kita berempati secara luas dan dalam penulis buku ini menjelaskan tentang hal-hal penting yang harus dipraktekkan, yaitu: kejujuran, kerendah-hatian, penerimaan, toleransi, gratitude, iman, pengharapan, dan pengampunan.