ANGKOLA KONSELING MINISTRY

Selasa, 09 Agustus 2011

TEORY ADLER


TEORI ADLER
PSIKOLOGI INDIVIDUAL DAN SOSIAL

A.    SIAPAKAH ALFRED ADLER?
Alfred Adler (1879-1937) menjadi bagian dari psikoanalistis Freud, setelah lulus dari sekolah medis di Vienna pada tahun 1895. Karena adanya konflik dengan Freud, maka beliau meninggalkan masyarakat psikoanalis pada tahun 1911 dan mendirikan masyarakat psikologi individu. Setelah perang dunia 1, Adler menjadi salah satu dari psikoanalisa pertama yang menerapkan teknik-tekniknya, guna mengobati anak dan problemnya di rumah dan di sekolah. Pada tahun 1935, Adler pindah ke New York, disana beliau mendirikan klinik dan cabang masyarakat Amerika. Adler mengusulkan bahwa setiap orang memiliki “style kehidupan” yang berasal dari pola hubungan keluarga, diluar mana gangguan sifat (karakteristik berkembang). Style kehidupan yang diadaptasi pada masa kanak-kanak hingga kepada masa dewasa. Adler melihat terapi sebagai spekulasi kerjasama antara pasien dan terapis, yang keduanya bekerja di dalam hubungan yang baik untuk membantu pasien agar memahami dirinya lebih baik[1].
Adler, murid Freud adalah seorang mediskus dan psikiater di Wina. Pada tahun 1910 ia memisahkan diri dari Freud dan mendirikan sekolah baru, yaitu: psikologi individual. Aliran psikologi baru ini juga cepat berkembang dan memiliki majalah sendiri. Banyak teori-teori Adler diterapkan di bidang pendidikan. Pengertian dasar dari psikologi Adler adalah, individualistis, yaitu merupakan kesatuan dan ciri-ciri pribadi manusia. Kepribadian itu adalah totalitas atau kesatuan tunggal yang tidak bisa dibagi-bagi. Prinsip terpenting dari psikologi ini adalah finalitas dan teleology (teleos=tujuan)[2].
Gaya hidup merupakan slogan dari teori kepribadian Adler yang merupakan tema yang selalu diulang-ulang dalam semua tulisan Adler dan merupakan ciri sangat khas dari psikologinya. Gaya hidup adalah prinsip sistem dengan mana kepribadian individual berfungsi, keseluruhanlah yang memerintah bagian-bagiannya. Setiap orang mempunyai gaya hidup tetapi tidak mungkin ada dua orang menggembangkan gaya hidup yang sama. Gaya hidup terbentuk sangat dini pada usia 4 atau 5 tahun. sikap, perasaan, apersepsi terbentuk dan menjadi mekanik pada usia dini dan sejak itu praktis gaya hidup tidak bisa berubah. Adler mengemukakan faktor yang memperngaruhi terbentunya sikap atau gaya hidup seseorang, yakni:
          i.            Urutan kelahiran dan kepribadian. Adler mengamati kepribadian anak sulung berbeda dengan anak tengah dan anak bungsu di dalam suatu keluarga.
        ii.            Adler berpendapat bahwa ingatan paling awal yang dapat dilaporkan seseorang merupakan kunci penting untuk memahami gaya hidup dasarnya. Adler menggunakan metode ini terhadap kelompok-kelompok maupun perorangan dan menemukan ternyata metode ini cukup mudah dan ekonomis untuk meneliti kepribadian. Ingatan-ingatan awal kini digunakan sebagai suatu tehnik projektif.
      iii.            Pengalaman masa kanak-kanak yang menurut Adler terbagi menjadi tiga faktor yaitu, anak-anak yang memiliki inferioritas-inferioritas, anak-anak yang dimanjakan dan anak-anak yang terlantar. Pengalaman masa kanak-kanak ini akan menimbulkan konsepsi-konsepsi yang salah tentang dunia dan mengakibatkan suatu gaya hidup yang patologis[3].

B.     PEMAHAMAN AKAN PSIKOLOGI INDIVIDUAL DAN SOSIAL
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa[4]. Individual adalah mengenai atau berhubungan dengan manusia secara pribadi, bersifat perseorangan[5]. Sosial adalah berkenan dengan masyarakat yang didalamnya perlua adanya suatu komunikasi dan yang suka memperhatikan kepentingan umum[6]. Berbicara akan psikologi seperti yang dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa maka berkaitan erat dengan adanya kegiatan pastoral didalamnya. Memahami psikologi seseorang bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk dilakukan karena memerlukan adanya penelitian akan kejiwaan seseorang, di dalam hal inilah pastoral konseling mengambil perannya.
Psikologi merupakan kegiatan untuk memahami dan mengobati pasien (klien) yang sedang berhadapan dengan kita dalam kegiatan konseling. Psikologi Individual mempunyai arti yang penting sebagai cara untuk memahami tingkah laku manusia. Penngertian se[erti gambaran semu, rasa rendah diri, kompensasi, gaya hidup, diri yang kreatif, memberi pedoman yang penting untuk memahami sesama manusia. Aliran ini tidak memnberikan struktur, dinamika, serta perkembangan kepribadian, tetapi mementingkan perumusan petunjuk-petunjuk praktis untuk memahami sesama manusia[7]. Dalam memahami pasien dan mengobati pasien diperlukan beberapa metode sehingga dapat mencapai goal/tujuan. Khususnya dalam memahami pasien hal-hal yang dilakukan adalah:
1.      Metode pemahaman
Semua metode Psikologi Individu dalam memahami kepribadian, memperhatikan pendapat individu dari tujuan superior, kekuatan perasaan rendah, tingkat minat sosial dan fakta, bahwa keseluruhan individu tidak dapat dirusak dari konteksnya dengan kehidupan atau dengan kata lain dari konteksnya dengan masyarakat. Menurut Adler perkembangan kepribadian diberikan dalam pengertian luas dari, ingatan masa kanak-kanak dini, posisi anak dalan urutan kelahiran, gangguan masa kanak-kanak, mimpi siang dan malam dan sifat faktor exogenous yang menyebabkan penyakit.
2.      Empati, Intuisi dan Tebakan
Pandangan kedalam makna dari rencana ini, paling baik didapat lewat empati artistic dan empati intuitif dengan sifat pasien yang penting. Dalam realita, bakat ini paling manusiawi. Setiap orang memanfaatkannya secara konstan dalam kekacauan hidup, sebelum kepastian masa depan yang bukan kepalang. Penebakan yang benar, merupakan langkah pertama terhadap penguasaan problema kita namun penebakan yang benar ini khususnya membedakan manusia yang sebagai patner, sesama manusia dan yang berminat dalam penyelesaian problema manusia dengan sukses.
3.      Tabiat Ekspresif dan Gejala-gejala
Pandangan sekilas, gaya berjalan, kekuatan atau kelemahan dari pendekatan pasien, dapat membukakan jalan yang banyak sekali. Akan banyak waktu yang terlewatkan jika seseorang menjadi terbiasa pada aturan atau memberi jangka waktu tertentu. Kita harus ingat bahwa pasien tidak mempunyai pemahaman diri dalam bentuk ekspresif, sehingga tidak mampu menyembunnyikan dirinya yang sejati. Kita tidak melihat kepribadiannya dalam tindakan dan tampak, tidak dari apa yang diucapkan pasien atau pikiran tentang dirinya, melainkan lewat tindakannya yang diinterpretasikan dalam konteks. Dibalik sesuatu masalah lebih banyak sesuatu pribadi dan seluruhnya individual.
4.      Komponen Organik
Pada interview pertama dengan pasien, kita harus yakin apakah benar-benar merupakan masalah penyakit syaraf atau salah satu gangguan organik. Dalam penyakit organic, nafsu makan bervariasii menurut pandangan umum dan penyakit yang serius bisa diperpanjang atau malahan dengan fatal dipengaruhi, jika pasien berubah pesimis atau secara psikologis menjadi lesu.
5.      Membuktikan Pemahaman
Ada sejumlah tes bagi kebenaran pendapat neuropsychiatric, yaitu:
·         Psikiater memeriksa pasien atau keberadaan dokter keluarga untuk menyoroti keseluruhan kepribadian.
·         Mencoba untuk memperoleh informasi tentang pasien menjelajahi sifatnya, keinginan dalam hidupnya dan sikapnya terhadap tuntutan keluarga serta masyarakatnya dan akhirnya akan mendapatkan gambaran karakter yang tajam dan jelas.
·         Mencari asumsi terhadap mana tabiat pasien dapat dimengerti.
·         Tanyakan kepada pasien apa yang menjadi tujuan dan yang akan dilakukan jika ia telah sehat dan normal dengan mengadakan diskusi kepada pasien.
·         Karena perjuangan mencapai posisi yang menguntungkan merupakan kunci kepribadian, kita akan memenuhi setiap titik kehidupan psikologis individu.
·         Kita bisa memulai dimana saja kita pilih, setiap ekspresi akan mengarahkan kita pada arah yang sama, terhadap satu motif, satu melodi disekitar mana kepribadian dibentuk.
·         Kita dilengkapi dengan simpanan materi yang banyak. Setiap kata, pikiran, perasaan atau gerak isyarat, mengembangkan kepada pengertian kita. setiap ekspresi mengatakan hal yang sama, setiap ekspresi mendesakkan kita kepada penyelesaian[8].
Adler berpendapat bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial. Menurut Adler, manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan orang-orang lain, ikut dalam kegiatan-kegiatan kerjasama sosial, menempatkan kesejahteraan sosial diatas kepentingan diri sendiri dan mengembangkan gaya hidup yang mengutamakan orientasi sosial. Menurut Adler, dorongan-dorongan sosial adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Sumbangan yang penting kedua yang diberikan Adler bagi teori kepribadian adalah konsepnya mengenai diri yang kreatif. Tidak seperti ego Freud, yang terdiri dari kumpulan proses psikologi yang melayani tujuan insting-insting diri dari Adler merupakan sistem subjektif yang sangat dipersonalisasikan, yang menginterpretasikan dan membuat pengalaman-pengalaman organisme penuh arti. Konsepsi tentang diri yang kreatif ini adalah baru bagi teori psikoanalitik dan ia membantu mengimbangi “objektivitisme” ekstrem psikoanalisis klasik yang bersandar sepenuhnya pada  kebutuhan biologis dan stimulus-stimulus dari luar untuk menjelaskan dinamika kepribadian[9].
            Individu yang merasa rendah diri akan masuk kedalam tahap inferioritas yang tinggi yang membawa individuu tersebut kedalam masa kompensasi. Jika kompensasi berhasil maka dia akan merasakan harga diri lebih riil dan tidak jarang usaha kompensasi menjadi kompensasi lebih atau overkkompensasi. Sebaliknya jika usaha kompensasi tidak berhasil maka individu tersebut akan merasakan kepuasan atau “kesempurnaan” yang iriil/semu yang akhirnya lari kedalam dunia yang iriil atau dunia fantasi. Pada perasaan rendah diri yang kronis dan sangat mendalam, orang mencari kompensasi dalam realitas fiktif, yaitu pada Neurosa. Neurosa ialah pelarian diri ke dalam penyakit, untuk menghindari  kesulitan hidup sehari-hari, juga untuk menghindari kegagalan-kegagalan, memuskan dan menaikkan harga diri. Menurut Adler, rencana hidup itu sudah terbentuk pada usia yang sangat muda, yaitu kurang lebih pada umur 3-4 tahun dan tanpa pengaruh pedagogis tertentu rencana hidup ini tidak akan berubah sama sekali. Kesadaran akan dapat tidaknya mencapai rencana hidup itu mengakibatkan pengenalan anak pada rasa rendah diri, bahkan pada anak-anak yang cacat atau yang mengalami didikan secara manja atau yang terlalu kejam dapat mengembangkan perasaan rendah diri yang sangat kuat sekali. Anak-anak itu akan tumbuh dengan reaksi yang menampilkan tiingkah laku yang pasif yang memunculkan ciri-ciri atau garis kewanitaan yang nampak dalam menjadi penakut, pengecut, tidak mampu berdiri sendiri, tidak berani memikul tanggungjawab, jadi penurut dan selalu bergantung pada orang lain. Kejadian ini tidak berselang lama karena akan muncul reaksi selanjutnya yaitu “protes kelaki-lakian atau garis kelaki-lakian” yang nampak dalam sikap memberontak, rebeli, keras kepala, bermulut besar dan lain-lain. Anak-anak sedemikian akan mengalami konflik batin dan mengalami kehidupan majemuk, yaitu sekarang menunjukkan sikap yang aktif (maskulin) dan kemudian disusul dengan sikap yang pasif (kewanitaan) yang selalu menyerah. Adler menamakan peristiwa ini sebagai “Hermafrodiitisme psikis atau kelamin psikis ganda” (hermafrodit=banci, memiliki sifat-sifat pria dan sifat-sifat wanita). Si pasien tidak menyadari rencana hidupnya yang paling rahasia dan tersembunyi serta tidak disadari itu. Dia baru bisa sembuh apabila dia mampu menggali dan menampilkan rencana hidupnya yang neurotis. Adler tidak mau memberantas symptom sakitnya, akan tetapi mencari dan mengeluarkan sebab-sebabnya yang  paling dalam melalui dialog-dialog, wawancara dan wawasan intuitif[10].
           
C.    PERAN TEORI ADLER BAGI PERKEMBANGAN DIRI INDIVIDUAL
Ciri psikologi Adler adalah yang membedakannya dari psikoanalisis klasik adalah tekanannya pada keunikan kepribadian. Adler berpendapat bahwa setiap orang merupakan konfigurasi unik dari motif-motif, sifat-sifat, minat-minat dan nilai-nilai, setiap perbuatan yang dilakukan orang membawa corak khas gaya hidupnya sendiri. Adler termasuk dalam tradisi William James dan William Stern yang disebut sebagai tokoh-tokoh yang meletakkan dasar psikologi personalistik. Teori Adler tentang sang pribadi meminismakn peran insting seksual yang dalam teori awal Freud memainkan peranan yang hampir eksklusif dalam dinamika tingkah laku. Bagi Adler, manusia pertama-tama adalah mahluk sosial bukan mahluk seksual yang dimotivasikan oleh minat sosial bukan oleh dorongan seksual, inferioritas juga tidak hanya bergantung pada seksualitas melainkan bisa meluas pada segala segi, baik fisik maupun psikologis. Manusia berusaha berjuang mengembangkan gaya hidup unik dimana dorongan seksual memainkan peranan kecil. Sebenarnya, cara orang memuaskan kebutuhan-kebutuhan seksualnya ditentukan oleh gaya hidupnya bukan sebaliknya. Penurunan perasana sekks yang dilakukan Adleer bagi banyak orrang membuat lega dari panseksualisme Freud yang monoton[11].
Adler, menyebutkan dua usaha yang paling fundamental dalam diri manusia, yaitu:
1.      Gemeinschaftsgehful (perasaan bermasyarakat), rasa mengabdi pada masyarakat, menyesuaikan diri terhadap tuntutan masyarakat dan mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan sendiri.
2.      Geltungstrieb, Machtstrieb (dorongan penonjolan diri dan dorongan berkuasa); pengabdian pada diri sendiri, dorongan mementingkan diri sendiri. Yaitu menunjukkan perasaan-perasaan superior kepada oranglain.
Setiap manusia mempunyai ide tersendiri. Perbandingan atau keseimbangan antara ide yang ingin dicapai dengan kemampuan sendiri itu memastikan berlangsungnya perasaan-perasaan inferior (kurang rendah diri, minder). Perasaan rendah diri itu membawa individu merasa malu, lemah, kecil, tersudut, kecewa dan lain-lain. Namun, individu tidak mau menerima perasaan inferior ini dan terus-menerus berusaha mengadakan kompensasi. Jelasnya, perasaan rendah-diri atau inferior itu membangungkan usaha untuk menyelesaikannya melalui bentuk kompensasi. Semakin kuat perasaan rendah-diri semakin  kuat pula perasaan harga diri lebih dan inilah salah satu bentuk Gelungstrieb[12].
Adler memandang kesadaran sebagai pusat kepribadiann, yang menyebabkan ia menjadi perintis perkembangan psikologi yang berorientasi kepada ego. Manusia adalah mahluk sadar, mereka biasanya sadar akan alasan-alasan tingkah laku mereka, sadar akan inferioritas-inferioritas mereka dan sadar akan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan. Lebih dari itu, manusia adalah individu yang sadar akan dirinya sendiri dan mampu merencanakan serta membimbing perbuatan-perbuatan dan menyadari sepenuhnya arti dari perbuatan-perbuatan itu bagi aktualisasi dirinya sendiri. Inilah yang merupakan antithesis teori Freud, yang benar-benar mereduksikan kesadaran ke status nonentitas-sekedar buih di tengah samudera ketidaksadaran. Teori kepribadian Adler sangat ekonomis dalam arti bahwa sedikit konsep dasar menopang seluruh struktur teoretisnya, karena itu segi pandangan Adler dapat dengan cepat disajikan secara ringkas dalam sejumlah kecil rubrik, yakni:
a)      Finalisme fiktif
b)      Perjuangan kearah superioritas
c)      Perasaan inferioritas dan kompensasi
d)     Minat sosial
e)      Gaya hidup
f)       Diri kreatif[13].
Menurut Adler pasien yang mengalami hermafrodit setelah mengeluarkan sebab-sebabnya yang paling dalam maka selanjutnya akan diberikan bimbingan kepada pasien, sebagai berikut:
a)      Dengan tegas menjelaskan, bahwa segenap tingkah laku pasien pada hakikatnya diarahkan pada pelaksanaan rencana hidup yang paling rahasia dan bahwa dia selalu berusaha menghindari kesulitan hidupnya.
b)      Pasien selalu menggunakan jalan melingkar, mencari cara penyelesaian yang murah dan selalu merasa puas dengan hasil-hasil semu.
c)      Bahwa segenap ketakutan yang berlebih-lebihan, semua harapan yang terlalu besar dan semua symptom neurotis itu adalah usaha untuk mengabdi pada Geltungstriebnya.
d)     Bahwa dorongan kemegahan diri yang ekstrim dan kesombongannya justru menghambat peranan sosialnya, dan menggagalkan hidupnya. Juga  menyulitkan usaha intropeksi dan perbaikan diri.
Proses memberikan nasihat ini berlangsung melalui banyak kesulitan. Pasien menolak hebat sebab dia ingin mempertahankan rencana hidupnya secara mati-matian dan keadaan ini akan berlangsung lama dan selalu saja berkeinginan untuk mencari jalan-jalan selinap untuk mendapatkan kepuasan semu. Jika pasien mau menyadari bahwa cara hidup dan sikapnya serba “semu” itu keliru, barulah konsultan memberikan dorongan kepadanya agar dia bersikap lebih berani, berani hidup dengan cara baru, berani memperebutkan tempat dalam masyarakat. Ringkasnya, berani mengahadapi segenap tantangan hidup dan realitas nyata[14]. Perubahan nyata pada sifat pasien hanya dapat dilakukan sendiri. Sejak dari permulaan, konsultasi harus mencoba menjelaskan bahwa tanggungjawab atas penyembuhan adalah urusan pasien. Kita harus selalu melihat pada pengobatan dan penyembuhan bukan sebagai keberhasilan konsultan, melainkan sebagai sukses pasien. Penasehat atau konsultan hanya menunjuk kesalahan. Pasienlah yang harus membuat kehidupan yang benar[15].
Disinilah yang dapat dilihat sebagai peranan Teori Adler bagi perkembangan individual dalam bidang psikologi, dimana setiap orang harus mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya dan mau untuk menjalani hidup dalam keterbukaan sehingga tidak akan menjadi penyakit kejiwaan. Manusia sebagai mahluk sosial haruslah mampu terlebih dahulu bersosial terhadap diri sendiri sehingga akan mampu untuk masuk kedalam sosial masyarakat karena adanya kesadaran akan diri sendiri sebagai pusat kepribadiannya.

D.    KESIMPULAN
Alfred Adler lahir di Wina pada tahun 1870 dari keluarga kelas menengah dan meninggal di Aberdeen, Skotlandia  pada tahun 1937 ketika mengadakan perjalanan keliling untuk memberikan ceramah. Ia membentuk kelompoknya sendiri yang kemudian dikenal sebagai Psikologi Individual dan yang menarik pengikut dari seluruh dunia. Adler bependapat bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial dan manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial.  Teori Adler meminimaliskan teori Freud yang berorientasi kepada panseksualisme yang monoton. Manusia adalah mahluk sadar, mereka biasanya sadar akan alasan-alasan tingkah laku mereka. Pengertian dasar dari psikologi Adler adalah individualistis yaitu merupakan kesatuan dan ciri-ciri pribadi manusia. Kepribadian itu adalah totalitas atau kesatuan tunggal yang tidak bisa dibagi-bagi. Kehidupan psikis itu dinamis, selalu mengandung unsur gerak dan usaha yang terarah pada satu tujuan. Jadi ada dorongan batiniah dan usaha pencapaian tujuan, sesuai dengan ide-idenya.
Menurut Adler, rencana hidup itu sudah terbentuk pada usia yang sangat muda, yaitu umur 3-4 tahun. Seorang individu yang memiliki inferioritas (kurang rendah diri, minder) karena tidak dapat melakukan apa yang sesuai dengan idenya maka akan terus berusaha mengadakan kompensasi. Kompensasi yang berhasil akan membawa individu tersebut merasakan harga diri yang riil namun tidak jarang juga usaha untuk melakukan kompensasi akan berubahh menjadi kompensasi lebih atau overkompensasi. Gaya hidup seseorang suah terbentuk dari usia yang sangat dini yang dapat terbentuk dari urutan kelahiran anak dalam suatu keluarga, ingatan-ingatan awal yang terjadi dan pengalaman pada masa kanak-kanak.
Ajaran Adler menyuburkan praktek-praktek pendidikan oleh dua sebab, yaitu:
1)      Ada asas tujuan yang ethis sifatnya, yaitu tuntutan untuk mampu bertanggung jawab, berani dan tabah menghadapi segala duka derita. Ajaran ini memaksa dirinya untuk melakukan introspeksi atau mawas diri dan membuang jauh-jauh kecenderungan-kecenderungan egois yang tersembunyi.
2)      Ada optimis pedagogis, yang menyatakan bahwa karakter itu bisa dipengaruhi dan didik secara intensif.
sedang kritik atau kekurangan pada ajaran Adler adalah:
1.      Dia terlampau menyederhanakan kehidupan psikis dan menyadarkan segenap penjelasan tingkah laku manusia pada Geltungstrieb, sedang dalam kenyataannya, kehidupan psikis itu jauh lebih kompleks adanya.
2.      Masalah pembawaan dan sifat keturunan/hereditas, tidak sangat ditonjolkan dan dia melebih-lebihkan pengaruh milieu.

E.     REFLEKSI TEOLOGIS
Gaya hidup merupakan slogan dari teori kepribadian Adler yang merupakan tema yang selalu diulang-ulang dalam semua tulisan Adler dan merupakan ciri sangat khas dari psikologinya. Gaya hidup adalah prinsip sistem dengan mana kepribadian individual berfungsi, keseluruhanlah yang memerintah bagian-bagiannya. Setiap orang mempunyai gaya hidup tetapi tidak mungkin ada dua orang menggembangkan gaya hidup yang sama. Gaya hidup terbentuk sangat dini pada usia 4 atau 5 tahun. sikap, perasaan, apersepsi terbentuk dan menjadi mekanik pada usia dini dan sejak itu praktis gaya hidup tidak bisa berubah.

Teori Adller yang berpusat kepada gaya hidup dan berpengertian kepada individualistis, yaitu  yang merupakan kesatuan dan ciri-ciri pribadi manusia. Kepribadian itu adalah totalitas atau kesatuan tunggal yang tidak bisa dibagi-bagi. Prinsip terpenting dari psikologi ini adalah finalitas dan teleology (teleos=tujuan).
Baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sudah menekankan akan perlunya setiap orang percaya untuk memiliki sikap hidup yang benar. Penyaji mulai dari apa yang dituliskan dalam Ulangan 6:4-7, agar mulai mengajarkan kepada anak-anak akan kebenaran Firman Tuhan dan pengenalan akan Tuhan dimulai dari dalam sebuah keluarga bahkan ada penekanan untuk mengajarkannya secara berulang-ulang, dan membicarakannya baik ketika duduk, tidur, bangun bahkan mencakup kepada semua aktifitas yang ada dan yang menajdi tujuannya adalah agar anak dimulai untuk memiliki pengenalan yang baik kepada Tuhan dan itulah yang akan membentuk sikap dan gaya hidup mereka kelak. Setiap gaya hidup seseorang pasti berbeda satu dengan yang lainnya dan tidak aka nada yang mungkin sama secara keseluruhan dan terbentuknya sikap hidup dapat dimulai dari usia anak-anak, bahkan urutan kelahiran, lingkungan sekitar, sikap orang tua dapat membentuk kepribadian seorang anak. Penyaji menambahkan apa yang dipelajarinya baik dari sekolah, gereja dan masyarakat dapat menentukan sikap hidup mana yang ia akan miliki.
Sikap hidup (gaya hidup) yang dimiliki seseorang menentukan bagaimana tanggung jawab juga sikapnya terhadap orang lain. Sebagai contoh: jika seorang anak terbentuk dengan gaya hidup yang apatis maka dia akan mewujudkan sikap yang sama terhadap orang lain yang ada disekitarnya, namun jika ia terbentuk dengan penuh kasih sayang maka ia akan menjadi seorang yang penuh kasih bagi orang lain. Dalam Alkitab sering kita mendengarkan agar “hidup sebagai anak-anak terang” dengan menanggalkan manusia lama dan masuk kepada manusia baru. Pemahaman yang benar, pengenalan yang benar, serta pengajaran yang benar yang didapatkan seorang anak dari lingkungan, gereja, keluarga dan masyarakat akan membantu dia untuk terbentuk menjadi seorang anak yang memiliki sikap/gaya hidup yang sesuai dengan Firman Tuhan. Sikap/gaya hidup yang mungkin sudah salah terbentuk masih dapat diperbaiki pertama dengan kesadaran diri di dalam terang Firman Tuhan sehingga tidak akan menjadi penyakit kejiwaan yang dapat menggangu mental, psikis dalam kepribadian seseorang.


[1] Daniel Goleman & Kathleen Riordan Speeth, Esensial Psikoterapi, (Semarang: Dahara Prize, 1987), 30
[2] Kartini Kartono, Psikologi Umum, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1996), 132
[3] Calvin S Hall & Gardner Lindzex, A.Supratiknya (ed), Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), Psikologi Kepribadian 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 250-255
[4] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 704
[5] Ibid…, 329
[6] Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa …, 856
[7] Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, (Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 1998), 191
[8] Daniel Goleman & Kathleen Riordan Speeth, Esensial…, 31-38
[9] Calvin S Hall & Gardner Lindzex, A.Supratiknya (ed), Teori-Teori.., 241-242
[10] Kartini Kartono, Psikologi Umum,… 134
[11] Calvin S Hall & Gardner Lindzex, A.Supratiknya (ed), Teori-Teori Psikodinamik…, 242
[12] Kartini Kartono, Psikologi Umum, 132-133
[13] Calvin S Hall & Gardner Lindzex, A.Supratiknya (ed), Teori-Teori Psikodinamik…, 243
[14] Kartini Kartono, Psikologi Umum…, 134-135
[15] Daniel Goleman & Kathleen Riordan Speeth, Esensial…, 42

Jumat, 13 Mei 2011

Trauma Konseling


TRAUMA KONSELING
I.                   Latar Belakang Masalah
Pada tahun 2010 ini tepatnya sejak bulan September hingga sekarang Indonesia dilanda oleh berbagai macam bencana yang mengancam jiwa manusia seperti ancaman Gunung Sibayak di tanah Karo Sumatra Utara, Banjir di Wasior, Letusan Gunung merapi di Jawa Tengah, sunami di Mentawai Sumtra Barat, serta ancaman gunung anak Krakatau dan Bromo. Tidak bisa disanggal kejadian-kejadian ini sudah menjadikan kehilangan, kemarahan, ketakutan, ketidak nyamanan bagi manusia yang melihat terlebih yang mengalami secara langsung kejadian bencana-bencana ini.
Demikian juga dengan kejadian-kejadia yang diberitakan atau yang dilihat sendiri adanya tindakan-tindakan kekerasan, penganiayaan yang tidak  habis-habisnya terjadi setiap hari. Ada juga kesalahan-kesalahan manusia seperti, kesalahan medis, tabrakan, kematian mendadak dan sebagainya. Tidak jarang hal ini akan menjadikan ketakutan, kecemasan serta ketegangan bagi manusia. dari bebrapa kejadian yang terjadi (meskipun belum kita survey secara data pasti) bukanlah suatu yang berlebihan bila dikatakan bahwa disekitar kita telah meningkat trauma-trauma yang di alami oleh manusia. Dimana setiap mereka membutuhkan pertolongan/pendampingan agar mereka lepas dari perasaan yang menghantui mereka.
Melalui sajian ini kita akan membahas mengenai apakah itu trauma, mengapa orang bisa trauma serta hal apa yang dapat dilakukan untuk menolong orang yang dalam atau postrauma.  

2. Etimologi
Trauma berasal dari bahasa Yunani trauma atau traumatos dalam bahasa psikiater, kata ini berarti suatu pengalaman emosional atau peristiwa yang mengejutkan dan peristiwa ini memiliki dampak kejiwaan yang berkelanjutan. Jadi secara etimologi, peristiwa traumatis adalah peristiwa yang di dalamnya melibatkan pengalaman emosional dan mengejutkan sehingga berdampak dalam jiwa atau batin seseorang pada masa kecil, remaja, ataupun dalam kehidupan keluarga.[1]
Trauma bisa diakibatkan oleh manusia (pelecehan seksual, pembunuhan dll) atau bencana alam, perang, kekerasan, kecelakaan dan tindakan-tindakan medis. Atau secara singkat dikatakan trauma disebabkan  oleh berbagai macam hal, namun ada aspek umum yang menjadikan orang trauma yaitu benturan pemahaman seseorang terhadap dunia maupun manusia sehingga dia mearasa berada dalam suatu situasi yang kacau, tidak aman akhirnya dia menjadi shock. [2]
Efek aftershock ini baru terjadi setelah beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu-minggu. Respon individual yang terjadi umumnya adalah perasaan takut, tidak berdaya, atau merasa ngeri. Kondisi tersebut disebut juga dengan stres pasca traumatik atau Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD

3. Pendalaman
Setiap  orang  akan memiliki respond yang berbeda terhadap suatu masalah. Ada orang yang mengangap bahwa sesuatu hal itu adalah berat sehingga dengan kejadian yang terjadi hati/perasaannya terluka akhirnya ia menjadi trauma. Di sisi lain ada orang yang menganggap suatu kejadian yang terjadi merupakan biasa-biasa saja dalam artian tidak melukai hati/perasaannya. Oleh karena itu yang  menjadikan orang trauma atau tidak bukan tergantung kepada kejadian melainkan terkantung kepada bagaimana seseorang menanggapi suatu kejadian.
Meskipun demikian ada juga orang yang tidak menyadari dengan pasti mengapa ia memiliki ketakuatan yang luar bisa terhadap seseuatu mahluk, benda atau kejadian. Karena bisa saja hal itu sudah lama berada dalam bawah alam sadar namun oleh karena muncul kembali, ketakutan yang lama muncul kebali dan ia ternyata sudah mengalami trauma.
Setelah pengalaman traumatik, seseorang bisa saja mengalami kembali trauma secara mental dan psikologis, sebab itu bagi orang yang mengalami trauma terhadap suatu event, mereka akan berupaya untuk menghindari hal-hal yang mengingatkan pada trauma tersebut. Karena bagi mereka hal itu merupakan yang tidak mengenakkan serta menyakitkan. Oleh karena itu orang yang trauma mencari pelarian untuk menghilangkan perasaannya seperti minum alcohol, panik yang luar biasa ketika ia dingingatkan, atau di hadapkan dengan hal-hal yang membuat dia trauma. Karena bagi orang yang memiliki traumatic event, dengan mengalami kembali kejadian yang hampir sama akan menjadikan tubuh dan pikirannya aktif untuk bergumul  kembali. [3]
Banyak orang  yang menganggap bahwa perasaan traumanya sebagai sesuatu penyakit yang permanen. dengan pemahaman itu mereka menjadi berupaya nyaman dengan  perasaan trauma yang mereka miliki dan akhirnya  mereka percaya bahwa feeling traumatic mereka tidak dapat di sembuhkan. Hal ini akan menjadikan suatu perasaan putus asa, dan mereka menjadi kehilangan kepribadian dan menjadi depresi.[4]

3.1 Etiologi[5]
Ada bebrapa tangapan pemicu trama diantaranya:
-         Etiologi Psikoanalisis
Bisa disebabkan pengalaman masa lalu yang tanpa disadari individu telah membuat individu menjadi trauma dan cemas berlebihan. Dengan kata lain, ada konflik – konflik tak sadar yang tetap tinggal tersembunyi dan merembes ke syaraf kesadaran.
-         Etiologi Kognitif
Adanya cara berpikir yang terdistorsi dan disfungsional, bisa meliputi beberapa hal seperti : prediksi berlebihan terhadap rasa takut, keyakinan yang self – defeating atau irasional, sensitiviras berlebihan terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah mengatribusikan sinyal – sinyal tubuh,serta self – efficacy yang rendah
-         Etiologi Behavioral
Etiologi terjadinya PTSD dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan behavioral dengan kerangka pikir conditioning. Dalam perspektif classical Conditioning, pengalaman traumatis berfungsi sebagai stimulus tak terkondisi yang dipasangkan dengan stimulus netral seperti sesuatu yang dilihat, suara, dan bau yang diasosiasikan dengan gambaran trauma. Pemaparan terhadap stimuli yang sama atau hampir sama memunculkan kecemasan yang diasosiasikan dengan PTSD

3.2 Post Traumatic Stress Disorder
      Akibat yang ditimbulkan oleh trauma disebut pasca trauma, diukur dari beberapa aspek: Jenis, bentuk, frekuensi, durasi, pihak atau peristiwa traumatik. Trauma dapat dialami langsung atau tidak langsung oleh individu dan tetap menimbulkan efek traumatik.  Dengan demikian, menyaksikan peristiwa traumatic yang dialami oleh orang lain dapat menimbulakan efek trauma juga.
Bagi sebagian orang yang mengalami trauma akan muncul symptom[6]: Symtomps yang muncul pada Post Traumatic Stress Disorder meliputi:
1.  Ingatan atau bayangan mencengkeram tentang trauma, atau merasa seperti kejadian terjadi kembali ("Flashbacks").
2. Respon-respon fisik seperti dada berdebar, munculnya keringat dingin, lemas tubuh atau sesak nafas saat teringat atau berada dalam situasi yang mengingatkan pada kejadian.
3. Kewaspadaan berlebih, kebutuhan besar untuk menjaga dan melindungi diri.
4. Mudah terbangkitkan ingatannya bila ada stimulus atau rangsang yang berasosiasi dengan trauma (lokasi, kemiripan fisik atau suasana, suara dan bau, dan sebagainya).
Untuk beberapa orang bisa terjadi[7] :
1.      Mimpi buruk, gangguan tidur
2.      Gangguan makan: mual dan muntah, kesulitan makan, atau justru kebutuhan sangat meningkat untuk mengkonsumsi makanan
3.      Ketakutan, merasa kembali berada dalam bahaya
4.      Kesulitan mengendalikan emosi atau perasaan, misalnya menjadi sensitif, cepat marah dibanding biasanya dan suasana hati bisa berubah secara dramastis, bisa menjadi cemas atau nerveous atau bahkan menjadi depresi.
5.      Kesulitan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih atau membuat keputusan-keputusan serta lebih mudah bingung.
6.      Gejala-gejala fisik bisa menyertai stress yang ekstrim. Umpamanya saja timbul sakit kepala. Mual dan nyeri dada dan memerlukan perhatian medis.


3.3 Terapi untuk orang yang mengalami tauma
Beberapa cara untuk mengatasi trauma diantaranya:
1.      Menngali penyebab terjadinya trauma, sikonselor membibing konseli untuk terbuka akan akar pahit yang di alaminya dengan memfasilitasi konseli mengingat kembali bagaimana suatu even terjadi.
2.      Kembali lagi pada peristiwa saat itu, dan mengeluarkan emosi yang seharusnya dia keluarkan saat itu. Tentunya dengan bantuan seorang ahli terapi dia mengunjungi kembali saat itu dan mengeluarkan perasaannya yaitu perasaan takut, marah, diekspresikan semua.
3.      Setelah itu baru masuk ke yang disebut di dalam ilmu terapi ke arah yang bersifat kognitif. Yaitu penyembuhan kognitif artinya dia akan diajar atau mulai belajar melihat hidup ini atau situasi ini dengan kaca mata yang berbeda diantaranya:
-         Terapi behavior lewat proses khusus yang melibatkan pengandaian mental dari peristiwa yang memicu traumatik dan disandingkan dengan terapi relaksasi. Dengan teknik ini, penderita akan menanggulangi rasa takutnya pada pemicu trauma. Disini digunakan tehnik rileksasi sembari konseli dibimbing dengan cermat agar mau mengungkapkan cerita mengenai peristiwa traumatis.
-         Terapi kognitif untuk menghadapi efek peristiwa penyebab trauma. Terapi dengan cara si penderita bercerita bisa membantu penderita mengurangi kenangan buruk masa silam.  Kemudian seorang dibimbing belajar tahap demi tahap untuk mengembangkan strategi-strategi menenangkan diri dan menguasai situasi-situasi yang bisa menyebabkan timbulnya kecemasan. Terapi ini membantu konseli untuk menata pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan sehingga mereka bisa hidup normal tanpa ada perasaan terancam. [8]
-         Terapi psikodinamik dengan memaparkan kembali penderita terhadap peristiwa traumatik namun dengan lingkungan yang lebih mendukung. Dengan terapi ini, penderita akan memahami perasaan sadar dan tak sadar terhadap peristiwa yang mempengaruhinya tersebut dan belajar menerima kondisi.
-         Terapi gestalt yaitu menkonfrontasi pikiran traumatisnya dengan mengungkapkannya kembali.
-         Terapi Rasinal emotif dengan cara merasionalisasikan kejadian yang telah terjadi. Dll.
Terapi bermain: Terapi bermain biasasanya dilakukan kepada anak-anak. Hal ini dilakukan karena  anak-anak belum dapat mengekpresikan diri mereka sendiri secara tepat pada tingkar verbal.  Bermain dapat membantu anak dalam perkembangan mereka dan tehnik yang tepat untuk mengontrol lingkungan. Dua pendekatan utama terapi bermain adalah psiko dinamika dan Client Centered. [9] artinya Konselor yang berpusat pada klient  tau anak mengikuti apa yang diarahkan anak, memusatkan pada kekuatan anak, merefleksikan perasaan anak, percaya kepada potensi anak yang dapat bertumbuh dan berubah, dan mengunakan traupetik dengan kehangatan, penerimaan dan hubungan yang berdasarkan empatik.
Dalam setiap terapi ini pasien diarahkan untuk mengenali bagian-bagian paling menakutkan dalam peristiwa itu. `'Tujuannya, untuk melatih otak agar otak tidak sensitif lagi pada peristiwa tersebut, Melalui terapi ini pasien akan diarahkan untuk mendukung, memperkuat, dan memperbarui mekanisme adaptasi. `'terapis akan membantu untuk meredakan perasaan bersalah, marah, sedih, depresi, cemas, dan mengurangi problem mental yang ada,'' Selain itu, lanjut Tjhin, upaya lain adalah menghindarkan pasien dari pikiran-pikiran, perasaan, orang, tempat, atau apa pun yang dapat membangkitkan ingatan akan peristiwa traumatik yang pernah dialami.
Refleksi dan Kesimpulan
      Orang-orang yang mengalami trauma sesungguhnya diakibatkan oleh luka-luka batin yang belum bisa untuk diselesaikan. Tidak jarang keberadaan trauma ini akan berdampak kepada hubungan yang tidak baik dengan Tuhan. Sering orang yang trauma melihat Tuhan tidak adil, Allah tidak memihak kepada mereka. Luka batinnya menjadikan dia terfokus kepada masalahnya dan erkadang juga berusaha melarikan diri dari perasaan yang sesungguhnya yang di alaminya.
      Tingkah laku orang yang trauma adalah cemas, merasa tergangu rasa amanya terutama bila dia dihadapkan dengan sesuatu yang menurut dia dapat mebahayakan dia. Selain itu ketika ia semakin menghindar dari traumanya maka akan muncul perasaan minder dan tidak percaya diri. Ketidak mampuan untuk mengontrol emosi merupakan yang sering terjadi juga.
      Trauma konseling ingin menjadikan seseorang dapat berdamai dengan akar pahit yang dia alami dan memulihkan seseorang perasaan taumatis event sehingga ia mampu untuk menhadapi kepahitan-kepahitan yang ada.
Terkadang manusia menanamkan peristiwa yang memberatkan dalam dirinya sehingga ia semakin tidak berdaya. Ia melarikan diri dari keberadaannnya sehingga dia tidak sembuh. Dalam Yohanes 5, ketika Yesus bertemu dengan seorang yang sakit 36 tahun di kolam Betesda, karena dia mulai putus asa dengan keberadaannya dan ia mulai nyaman dengan stigma saya tidak mungkin sembuh, Yesus memberitanggung jawab kepadanya dengan berkata , “maukah engkau sembuh”? kalimat ini sangat cocok untuk orang yang mengalami trauma, dimana tanggung jawab kesembuhannya di mulai dari keinginan untuk sembuh. Dengan keinginan itu dia akan diberikan tanggung jawab untuk berupaya untuk kesembuhannya dan Yesus tetap berkuasa hingga kini untuk mengangkat luka batin setiap orang percaya, asalkan dia mau sembuh.

Kepustakaan

1.      Albana Anne Marie, Mendampingi Anak Paska Trauma, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006, hlm 81-82
2.      A.P. DePrince& Freyd, J.J. (2002). "The Harm of Trauma: Pathological fear, shattered assumptions, or betrayal?" In J. Kauffman (Ed.) Loss of the Assumptive World: a theory of traumatic loss. (pp 71–82). New York: Brunner-Routledge.
3.      Chaplain,. J.P Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta, Raja GRafindo Persada, Hlm 498
4.      Eve B Carlson,.; Josef Ruzek. "Effects of Traumatic Experiences: A National Center for PTSD Fact Sheet". National Center for Post-Traumatic Stress Disorder. Archived from the original on 2004-06-12. http://www.vac-acc.gc.ca/clients/sub.cfm?source=mhealth/factsheets/effects
5.      Frank B. Minirth, Kebahagiaan Sebuah Pilihan, Jakarta, BPK-GM, 2001, hlm 13.
6.      Maria Agnes Layantara, Luka Batin, Jakarta, Yayasan Maranatha Krista, 2001


[1] Agnes Maria Layantara, Luka Batin, Jakarta, Yayasan Maranatha Krista, 2001, hlm. 8
[2] DePrince, A.P. & Freyd, J.J. (2002). "The Harm of Trauma: Pathological fear, shattered assumptions, or betrayal?" In J. Kauffman (Ed.) Loss of the Assumptive World: a theory of traumatic loss. (pp 71–82). New York: Brunner-Routledge.
[3] ^ a b c Carlson, Eve B.; Josef Ruzek. "Effects of Traumatic Experiences: A National Center for PTSD Fact Sheet". National Center for Post-Traumatic Stress Disorder. Archived from the original on 2004-06-12. http://www.vac-acc.gc.ca/clients/sub.cfm?source=mhealth/factsheets/effects
[4] Depresi merupakan suatu perasaan yang menggagu hati yang menyangkut kepada hal yang ringan sampai yang bersifat kejiwaan, psikoanalisis. Frank B. Minirth, Kebahagiaan Sebuah Pilihan, Jakarta, BPK-GM, 2001, hlm 13.
[5] Penyelidikan mengenai relasi kasual (sebab musebab) dalam penyakit.
[6] Dalam pantologi medis dan psikologis, merupakan suatu indikator hadirnya suatu penyakit. J.P Chaplain, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta, Raja GRafindo Persada, Hlm 498
[7] Ibid, Carlson, Eve B.
[8] Anne Marie Albana, Mendampingi Anak Paska Trauma, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006, hlm 81-82
[9] Ibid, Anne Marie Albana hlm  92